Belaian Malam Sang Ibu Pertiwi


Pada suatu malam Ibu pertiwi yang selalu dikisahkan merintih dan berdoa, mengusap kepala putra-putrinya. Seperti syair lagu yang mengkisahkannya, ia berdoa. Berdoa seakan ia berbicara dengan mereka sambil tersenyum penuh harap pada putra-putrinya. Di pipinya tetes demi tetes air matanya mengalir. Tetapi apa yang menyebabkan meneteskan air mata itu tak begitu jelas. Dalam syair lagu air mata itu mengalir karena sedang bersusah hati.

 

"Selamat malam putra-putriku. Lagu yang engkau putar kala kau melihat luka dalam diriku itu semoga bukan sekedar mendukung kontenmu saja. Tapi benar-benar kalian tangkap pesannya." Salam pembuka ketika duduk di samping putra-putrinya yang telah terlelap.

 

Ia, teringat salah satu putranya yang membuat lagu itu. Jika ia mengenang, ia tersenyum haru. Bagaimana tidak? Ibu Pertiwi selalu berusaha menutupi kesakitannya yang dibuat oleh putra-putri yang ia sayangi. Ibu Pertiwi sampai kini pun belum menemukan jawaban mengapa dan dari mana salah satu putranya itu, Ismail Marzuki tahu dan peka akan isi hatinya.


Melihat putra-putrinya yang tidur di atas ranjangnya masing-masing, ia merenung dan merasa terheran-heran. Bagaimana tidak? Tanah surga yang dititipkan pada keluarga ini sudah dibagi sesuai peruntukannya terkadang masih saja menjadi rebutan dan berujung pertengkaran. Sayangnya lagi ada anak tengah yang ditugaskan melindungi adik-adiknya dan menjadi penengah ketika kakak dan adiknya bertikai, malah ada yang melindungi kakak-kakaknya yang serakah. Lahan yang semestinya untuk bercocok tanam oleh adik-adiknya, direbut paksa kakaknya untuk membuka lahan untuk pabrik atau akan dikeruk isi buminya. Tentu mungkin ini tidak pas dilakukan di lahan yang subur. Toh, hasil cocok tanam itu juga untuk sekeluarga.

 

Terkadang melihat putra-putrinya yang telah dewasa bikin bingung saja. Sudahlah ingin merampas lahan adik-adik kecilnya ia masih buka lahan yang memang sengaja dilindungi oleh keluarga. Lagi-lagi akibatnya tak main-main dan peruntukannya hanya keuntungan sementara. Jangka panjangnya mungkin hanya sedikit saja. Wajar saja jika ini menyebabkan kerugian di rumah ini. Padahal itu warisan yang ia harapkan bertahan hingga hari akhir.

 

Ibu Pertiwi yang kini menginjak usia hampir seabad berpindah kamar melihat putra-putrinya yang lebih dewasa dan diamanahkan untuk membimbing adik-adiknya tanpa kecuali. Mereka ini juga awalnya dipercayai oleh adik-adiknya. Mereka ini orang terpilih. Namun, sayang Ibu Pertiwi sedih dan kecewa pada anak-anaknya yang terpilih dan ia percayai bisa membimbing semua adik-adiknya. Sebab beberapa ada yang mementingkan nafsunya dari pada kepentingan bersama. Adik-adiknya yang lebih kecil seakan dianggap ada tapi tiada. Dikesampingkan, nyaris tak dianggap. Dalam hati kecilnya ia berbisik, “Semoga mereka yang memegang amanah selalu dalam jalan kebenaran. Dan jikalau ada yang mulai menyimpang atau telah menyimpang semoga segera sadar dan kembali pada jalan kebenaran.”

 

Ia kembali beranjak menuju ke kamar putra-putrinya yang masa-masanya mencari jati dirinya di rumah bersama ini. Usia-usia mereka ini yang disebut-sebut yang dapat membawa perubahan di masa mendatang. Mereka ini memiliki julukan “mahasiswa”. Entah apa sebabnya. Apakah karena mereka mengenakan jas almamater berwarna-warni dengan logo yang berbeda di dada mereka. Atau aksi protes mereka ketika kakak-kakak yang memiliki amanah telah dianggapnya merugikan banyak pihak. Atau memang karena karya-karyanya yang mengharumkan nama dirinya dan ibunya, Ibu Pertiwi.

 

Satu sisi sang Ibu Pertiwi bangga memiliki anak yang berjuluk “mahasiswa” ini. Karena, berani mengingatkan kakaknya yang sangat berkuasa. Sebab jika ia sendiri yang mengingatkan kurang begitu diperhatikan. Selain itu ia melihat sendiri bagaimana proses dan perjuangan para “mahasiswa” ini mengharumkan nama dirinya dan ibunya ini di mata orang. Besar harapannya pada mereka sebagai pengganti kakak-kakaknya yang kini tengah berkuasa. Namun, seperti kakak-kakaknya juga para “mahasiswa” ini. Ada saja yang berleha-leha, hanya mau senangnya saja.

 

Begitulah penghuni rumah kecil Ibu Pertiwi. Penuh pergolakan pula mereka. Ada kalanya kakak akur dengan adik. Ada kalanya pula kakak menindas adik. Adik pun juga memberontak pada kakak jika tak sesuai dengan harapan atau haknya tak dipenuhi dan dirampas. Tetapi ia ia tetap berharap mereka akan menggembirakan dirinya suatu saat. Tak mengecewakan dirinya.

 

Kisah ini terinspirasi dari Lagu Ibu Pertiwi karya Ismail Marzuki yang akhir-akhir ini menjadi suara latar video yang menunjukkan kesedihan seperti dalam bencana alam dan unjuk rasa._

 

Yogyakarta, 26 April 2021


 

Komentar