Hujan Bulan Juni “Menjelma” Lagi

Salah satu bagian gambar dalam novel grafis Hujan Bulan Juni
 

Juni telah berlalu dua bulan, kini Agustus pun akan berakhir. Tapi Juni dan Agustus tak beda jauh, sama-sama jarang hujan.

 

Tetapi Hujan Bulan Juni dengan tabah, bijak, dan arif telah menjelma dalam bentuk lain. Menjadi puisi pada 1989 oleh Sapardi Djoko Damono (SDD), 2015 menjelma menjadi kisah Sarwono dan Pingkan sebagai novel, 2017 kisah itu beradaptasi menjadi film, dan terakhir Hujan Bulan Juni menjelma menjadi novel grafis pada 2021.

 

Aku sendiri mengenal SDD dan puisi-puisinya bermula dari Hujan Bulan Juni. Tepatnya dari promosi film ini di televisi. Kaya kok indah saja kalimat-kalimat puisinya. Apa lagi memainkan kata-kata bernuansa alam. Sampai aku agaknya berkiblat pada puisi SDD.

 

Setelah film ku tonton di televisi atau layanan streming, aku lupa pastinya. Rasanya ingin membaca novel Hujan Bulan Juni, tapi hingga kini aku belum kesampaian. Sampai suatu ketika, aku melihat postingan Gramedia di Instagram bahwa Hujan Bulan Juni akan terbit dalam bentuk novel grafis. Apa lagi ini? Tentu saja bergambar, kan grafis. Hal baru bagiku mengetahui bahwa ada novel grafis.

 

Hingga akhirnya novel Hujan Bulan Juni “tersingkirkan” dengan novel grafisnya bagiku. Penasaran dengan novel grafis. Tibalah aku jenuh dengan tulisan, lagi sementara tak ingin melihat tulisan se-halaman penuh berlembar-lembar. Jadi, tampaknya pas untuk mengambil dan membaca novel grafis Hujan Bulan Juni.

 

Awalnya pikiran “Apa ini? Aneh rasanya.” Aku merasa permainan deskripsi dan naratif yang biasanya ada di novel hilang. Aku menjawab sendiri karena itu digantikan dengan ilustrasi tiap bagian ceritanya. Maka hilang pula lah imajinasi membayangkan bagaimana tubuh sang tokoh, tempat, suasana, dan sebagainya dalam cerita. Hanya membayangkan bagaimana suara sang tokoh.

 

Temanku sampai berkata, “Bilang saja itu komik.” Benar sih, tapi kalau dicari maknanya novel grafis itu punya alur yang lebih kompleks dan ga bersambung. Kalau komik lebih mudah dipahami dan mungkin saja ada lanjutannya.

 

Bener saja, aku sepertinya akan membaca novel grafis itu kedua kalinya. Aku masih bingung di beberapa bagian cerita. Jika dibandingkan dengan filmnya, tentu saja ada beberapa hal yang berbeda. Mungkin pula ada yang berbeda dengan novel sesungguhnya. Seperti biasanya, novel ketika dialihwahanakan ada perbedaan.

 

Setidaknya novel grafis Hujan Bulan Juni sudah menjawab tanyaku bagaimana isi novel grafis itu. Mungkin novel grafis bisa menjadi awal bagi yang ingin baca buku yang “agak tebal” tapi kurang senang dengan teks yang panjang. Mungkin pula seperti aku yang lagi ga mau baca buku yang banyak teksnya.

 

Sampul Novel Grafis Hujan Bulan Juni

Hujan Bulan Juni Menjelma

 

Novel grafis ini tentu saja ceritanya milik SDD, namun dirancang oleh dosen dan mahasiswa Desain Komunikasi Visual Institut Kesenian Jakarta (IKJ). Bagiku gambarnya menarik. Tetapi seperti yang ku katakan tadi, imajinasi ketika membaca novel tidak akan bermain. Tokoh di sini mungkin bagi yang pernah menonton filmnya mengatakan “wajahnya mirip seperti yang di film.”

 

“Semua bagus-bagus saja, kita bebas memberikan penafsiran atas karya sebelumnya”

 

Itu sebuah kutipan dari tulisan berjudul Sapardi Djoko Damono dan Komik oleh Iwan Gunawan, Pusat Kajian Narativ Visual IKJ yang berada di akhir novel grafis Hujan Bulan Juni. Pada tulisan inilah diceritakan bagaimana awal mula keberadaan novel grafis Hujan Bulan Juni. Tak hanya itu, di tulisan ini pula bagaimana diskusi Iwan Gunawan dengan SDD tentang sastra dan komik.

 

Penulis: Muhammad Irfan Habibi

Komentar