Judul buku: Sutopo Purwo Nugroho: Terjebak Nostalgia
Penulis: Fenty Effendy
Cetakan/Terbit: Pertama/Agustus 2019
Penerbit: Literati
Jumlah halaman: 208 halaman
Jenis buku: Biografi
Bencana, sebuah kejadian luar biasa yang tak bisa kita duga kapan akan datang. Hidup di negeri yang bisa dikatakan “rawan bencana” tentu kita butuh informasi yang akurat dalam hal kebencanaan. Salah satunya melalui Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB). Bicara BNPB, kita coba mengingat kejadian gempa Lombok dan Palu pada 2018 yang berjarak hanya beberapa bulan. BNPB selalu memberikan informasi dari berbagai media dan tak lepas dari sosok Sutopo Purwo Nugroho, Kepala Pusat Data Informsu dan Humas (Kapusdatinmas) BNPB.
Namun, apakah kita sudah mengenal bagaimana sosok Sutopo itu? Dari buku
biografi “Sutopo Purwo Nugroho: Terjebak Nostalgia” yang ditulis Fenty Effendy
(@fenty_writer), penulis yang juga telah menulis buku biografi beberapa tokoh
seperti Karni Ilyas. Di bab pertama, dibuka dengan bagaimana Sutopo bertemu
dengan sang pujaan hati ketika wisuda. Kebetulan keduanya sama-sama lulusan
terbaik dari masing-masing fakultas di UGM.
Siapa sangka Sutopo itu pernah merasa kecewa karena kuliah di jurusan yang
tidak diingankannya, geografi. Dia awal masa kuliahnya males-malesan dan pernah
berkata kepada bapaknya “Fakultas geografi itu mati.” Hingga akhirnya ia tersentak
mendengar jawaban bapaknya dan menyelesaikan studinya hingga menjadi sarjana
terbaik Fakultas Geografi, UGM. Ketika wisuda pula ia bertemu dengan pujaan
hati yang juga sarjana terbaik di UGM.
Ketika Sutupo lulus ternyata tak menjaminnya mendapatkan pekerjaan yang diinginkannya.
Hingga akhirnya ia berkerja di Badan Pengkajian daan Penerapan Teknologi (BPPT).
Ia pernah meneliti Tanggul Situ Gintung dan menemukan kondisi tanggul yang
tidak mampu lagi menahan air. Belum lama dari penelitian itu, terjadilah Tragedi
Situ Gintung pada maret 2009. Karena kejadiian itu ia dipanggil oleh Syamsul
Maarif, Kepala BNPB untuk menjelaskan apa yang terjadi. Dari kejadian itu pula
Syamsul ingin Sutopo menjadi bagiannya BNPB.
Pada 4 Oktober 2010, akhirnya resmi menjadi bagian BNPB. Di situlah ia
belajar bagaimana menyampaikan pres liris bahkan menjelaskan dihadapan presiden
dari atasannya. Berbagai lokasi bencana ia kunjungi mulai dari banjir, longsor,
gempa hingga gunung meletus. Kemana pun atasannya ia selalu mengikuti atau paling
tidak menyusul. Namun, ada kalanya ia di Jakarta untuk melayani wartawan.
Sutopo sangat dekat dengan wartawan, ia memiliki tujuh grup yang isinya
para wartawan. Di situlah ia memberikan informasi-informasi kebencanaannya
kepada wartawan. Kapan pun ditelpon wartawan pun ia akan menjawabnya. Hingga Sutopo
berani berkata, “Suatu saat kalau saya enggak jadi humas, kawan-kawan semua
pasti merindukan saya.”
Perlahan Sutopo mulai mengendor aktif digrup itu, sebab kanker paru-paru
yang dialaminya. Namun, ia tetap berusaha pulih dengan berbagai upaya. Tugasnya
sebagai Kapusdatinmas BNPB pun tetap ia jalani. Seperti ketika pres liris gempa
Palu, ia tetap menjelaskan seperti biasanya. Di sela-sela jumpa pers itu pula
ia mengungkapkan ingin bertemu Raisa, penyanyi kegemarannya dan Jokowi, presiden
yang belum berhasil diajak berjabat tangan dengan Sutopo. Dari situ pula
keinginannya terwujud bertemu dengan Raisa dan berjabat tangan bahkan berbincang
dengan Jokowi.
Namun, ada yang menjadi kebanggaannya melebihi bisa bertemu Raisa atau
berjabat tangan dengan presiden. Kebanggaan itu ialah membanggakan orang tuanya.
Terlebih lagi kedua orang tuanya bisa menaiki Panggung Mata Najwa on Stage di
Boyolali. Baginya ini tak pernah ia bayangkan seumur hidupnya. Sutopo merasa
haru dan bersyukur bisa membanggakan orang tuanya.
Buku biografi “Sutopo Purwo Nugroho: Terjebak Nostalgia” yang ditulis Fenty
Effendy (@fenty_writer), buku yang sangat inspiratif bagi siapa pun seperti
salah satu judul sub babnya “Tetaplah Menjadi Inspiratif.” Penulis mengungkapkan
siapa dan bagaimana sosok Sutopo sejak masa kecilnya hingga ia wafat. Banyak kisah-kisah
Sutopo yang bisa diteladani dalam buku ini seperti sifat telaten dan tabah
walau sepertinya tersirat dalam buku ini. Bagi saya sebagai orang yang ingin terjun
dalam kerelawanan dan kebencanaan, sosok Sutopo ini bisa menjadi kiblatnya.
Namun, alur yang dituliskan pada buku ini tidak runtut, sehingga pembaca
merasa perlu mengingat atau membaliknya lagi apa yang telah diceritakan di awal
ketika ada kaitannya di bagian lainnya. Secara fisik buku ini sudah membawa
pembaca untuk mengingat sosok Sutopo. Dengan covernya didominasi warna oranye,
mengingatkan kita pada BNPB, lembaga yang bisa dikatakan tempat “mengabdi”
Sutopo pada bangsa ini. Selain itu, kalimat-kalimat yang menjadi poin penting
setiap sub bab juga ditampilkan pada akhir sub bab. Beberapa foto dokumentasi keluarga
Sutopo pun juga ditampilkan dalam buku ini. Itulah pendukung yang menjadi nilai
tambah buku ini.
Oleh: Irfan Habibi
Komentar
Posting Komentar