Membayangkan Menjadi "Aku" Dalam Cerpen "Pengemis dan Shalawat Badar"


"Pengemis dan Salawat Badar" cerpen yang ditulis Ahmad Tohari. Ketika aku pertama membacanya ada perasaan yang terbawa bagaimana jika aku menjadi tokoh "Aku" dalam cerpen itu? Dalam bus yang pengap ketika mengetem berbagai orang masuk. Termasuk pedagang dan pengemis. Pedagang dengan dagangan yang disodorkan pada para penumpang. Pengemis, tentu saja meminta.

Tapi bukan itu yang membuat bergetar. Sosok "Pengemis" yang melantunkan Salawat Badar ketika meminta-minta. Hm... Mungkin kita merasa tak pas jika shalawat yang meagung-agungkan nabi untuk mengemis. Tapi apakah kita bisa berpikir berkali-kali perkara tokoh "Pengemis" pelantun Salawat Badar ketika meminta-minta yang memperkuat gambaran derita kemiskinan? Boleh jadi "Pengemis" yang melantunkan Salawat itu rajin menyambangi pengajian yang dibuka dengan salawat. Boleh jadi ia yang dahulu mendapat syafaat rasul dari kita. Boleh jadi ia akan tetap bersalawat ketika kondisinya lebih baik.

Mungkin "Pengemis" yang Bersalawat Badar itu sadar yang ia puji itulah yang dapat menolongnya di dunia dan di akhirat. Orang-orang yang ia minta belas kasihnya hanyalah perantara pertolongannya di dunia. Bagaimana tidak? "Pengemis" dengan Salawat Badar itu selamat dan berjalan menjauh dari bus yang tak sengaja membawanya kecelakaan

Ku rasa ini pengingat kita. Jika aku di posisi tokoh "Aku", aku mungkin akan mengikutinya bersalawat. Tetapi apa iya kita harus sadar setelah melihat penderitaan? Tidak dalam kondisi apapun kita sadar untuk menyembah-Nya.

YK, 3 April 2021

Komentar