![]() |
video di Chanel Youtube Narasi. Judulnya "Animasi Biar Kegambar: Yang Kaya Makin Kaya, Yang Miskin Nontonin Aja" (https://youtu.be/X2y-3KEjN7U) |
Mari menggalaukan sesuatu!
Kali ini menggalaukan diriku dan mungkin saja kita semua. Ini tentang kita sebagai pengguna media sosial yang menikmati konten "kemewahan" atau ya orang-orang sebut "sultan". Entah siapa yang menggunakan istilah "sultan" bagi orang-orang berlebih.
Malam ini, sebelum menulis kegalauan ini aku menulis untuk tugasku. Aku mendapatkan ide dari keresahanku sendiri. Sebelumnya terpancing oleh sebuah video di Chanel Youtube Narasi. Judulnya "Animasi Biar Kegambar: Yang Kaya Makin Kaya, Yang Miskin Nontonin Aja" (https://youtu.be/X2y-3KEjN7U) tertulis di keterangannya karya kolaborator Edwina Rismayanti. Secara singkat ini menggambarkan kita pengguna yang terlena "menikmati" konten keglamoran orang lain terutama publik figur atau artis.
Lalu di tengah menulis aku menemukan artikel atau berita yang berisi pendapat seorang ahli mengenai mengapa konten kemewahan ini ada. Tepatnya sorang Sosiolog Universitas Gadjah Mada yang memiliki fokus pada kajian masyarakat digital dengan nama Sidiq Hari Madya. Ia menyebutkan ada tiga hal (Sumber: https://www.kompas.com/tren/read/2019/11/21/074516865/fenomena-artis-pamer-kekayaan-di-media-sosial-kok-netizen-menikmati?page=all). Pertama, mempertahankan status sosial. Status sosial siapa? Ya, status sosial pribadi yang dijuluki "sultan" itu di masyarakat.
Kedua, memenuhi imajinasi audien. Ya, kita-kita ini audiennya. Kadang kita pengen tahu atau penasaran bukan? Nah, sebab itu si konten kreator menampilkan apa yang diminta audien.
Ketiga, atensi tinggi publik. Ya, karena permintaan juga sih menurutku. Semakin banyak memberikan apa yang diminta audien tentu bisa saja memberikan pemasukan bagi konten kreatornya. Begitukan?
Tapi pernah kah kita bertanya pada diri kita apakah konten yang kita lihat memberikan dampak yang baik? Misalnya memberi pengetahuan. Memberikan yang bukan sekedar hiburan. Atau memang kita cenderung hanya benar-benar penikmat dan memenuhi rasa penasaran akan kehidupan glamor seseorang?
Mari kita renungkan. Kita melihat diri kita. Memikirkan konten yang selama ini kita tonton. Kita coba untuk melihat dari dua sudut pandang atau mungkin saja lebih. Konten yang menampilkan "kesultanan" publik figur. Mungkin di antara kita ada yang merasa konten itu bisa memicu dirinya untuk semangat meraih kesuksesan. Si konten kreator dijadikan sebagai panutan.
Atau kita memang tak senang dengan konten seperti itu. Tak senang bukan arti iri. Tetapi berpikir apa manfaatnya untuk kita? Berpikir kalo menonton seperti itu dia makin kaya, kita hanya sekedar penikmat tanpa bisa maju. Dan mungkin saja kelompok ini yang mengkritik konten kreator.
Baiklah. Ku rasa ini perlu secara objektif menanggapi dua kubu ini. Jika tidak ya bisa saja menjadi debat tanpa akhir. Bagi yang merasa termotivasi, okay bagus. Semoga saja mulai berusaha mencapai kesuksesannya. Bukan malah terbuai oleh kenikmatan konten "kesultanan" publik figur. Renungkan. Apakah kita dengan menonton atau melihat benar-benar sudah bergerak menuju mewujudkan mimpi? Atau ya masih gitu-gitu aja sebagai penikmat.
Kalo bagi yang mengkritik, benaran nih ga ada manfaatnya konten gituan? Mungkin ada saja. Sudah coba nonton? Mana tau suatu saat kita bisa menikmati apa si konten kreator perlihatkan. Misal kita suatu saat makan ala-ala korea, mana tau dengan pernah nonton tau cara makannya gimana.
Lalu bagaimana dengan konten kreatornya? Hm... ya perlu sadar juga. Menurutku mungkin ada beberapa konten kreator yang lebih mengejar untung dan mengesampingkan pesan yang bermanfaat bagi audiennya. Ya, seperti di atas, sekedar memenuhi permintaan. Tapi ga semua konten kreator begitu. Tak semua konten begitu.
Oh ya, masih terkait. Dengan adanya konten seperti ini bisa saja mempengaruhi khalayak. Salah duanya biasnya privasi dan menimbulkan sifat konsumtif. Mengapa? Biasnya privasi bisa berawal dari permintaan audien yang ingin tahu kehidupan si konten kreator. Mana tau suatu saat malah si konten kreator risih ketika disingung, dicemooh. Ya pokoknya gitu. Lalu di masyarakat juga bisa menirunya dengan memamerkan apa yang ia punya di media sosialnya. Hm...
Lalu, konsumtif. Mengapa? Bisa saja berawal dari konten endorse atau riview. Kita bisa tau bagaimana sebuah produk atau apapun itu. Lalu merasa "wah sepertinya cocok bagiku" atau "wah sepertinya enak" dan lainnya yang membuat kita ingin memiliki atau mencobanya juga. Biasanya kita percaya atau tertarik bukan pada sebuah produk yang dipromosikan idola atau panutan kita? Sehingga kita bisa saja mengeluarkan uang padahal belum tentu butuh atau cocok. Dan bisa saja membuat pengeluaran tak terduga dan mengesampingkan yang lebih penting.
Jadi, siapa yang harus bertanggungjawab? Jawabannya kita semua. Ya, pengguna media. Ya, konten kreator. Ya, siapapun itu. Bagi pengguna yuklah kita renungkan dan pikirkan berkali kali. Kita melihat sebuah konten itu kira-kira apa manfaatnya? Apakah lebih banyak manfaatnya atau tidak? Jika, merasa itu kurang bermanfaat ya bolehlah disampaikan kritiknya dengan santun tanpa bahasa kasar. Atau jika benar-benar bingung gimana mengkritiknya atau takut menyinggung, mungkin bisa tinggalkan saja konten seperti itu.
Lalu konten kreator. Ya bisa siapa aja yang dah sukses mendapatkan pengikut dan penonton yang sangat banyak, yang baru memulai, yang akan memulai. Coba kita pikirkan kira-kira apa sih yang kita berikan pada audien kita? Apakah hanya cenderung pamer? Apakah ada pesan yang memberikan pencerahan? Apa untungnya mereka melihat konten yang kita buat?
Media saat ini siapapun bisa menjadi penyampai pesan, menjadi konten kreator dengan mudah dan tidak dengan aturan yang sangat rumit. Lalu media saat ini terutama media digital dan media sosial ini memiliki jangkauan yang luas dan bisa dilihat siapapun. Jadi, ya tugas kita bersama untuk membuat konten yang saling menguntungkan. Bukan satu pihak semata.
Yk, 10 Juni 2021
Komentar
Posting Komentar