Meninggalkan Impian Sementara untuk Mengingat Realita

 


Yogyakarta, malam terakhirku sebelum meninggalkanmu terakhir kau diguyur hujan sejak sore. Malam ini aku sepertinya mendengar rintik hujan di atas genting di sini. Aku teringat foto-foto yang ku ambil malam itu di Malioboro. Malioboro yang berbenah untuk menjadi lebih baik. Semoga saja.

 

Foto-foto itu ku ambil kala rintik hujan masih mengguyur tetapi tak selebat petang. Pedestrian tampak memantukan kilauan cahaya lampu yang berjejer sepanjang jalan. Malioboro tampak lengang. Padahal malam itu Minggu. Bukankah biasanya kau ramai? Mungkin pengunjungmu lebih nikmat menikmati syahdu hujan di penginapan dengan minuman hangat.

 



Malioboro malam itu tetap saja hidup dan menghidupi. Para penarik becak motor (bentor) masih lalu lalang, ada pula yang sepertinya menunggu ada penumpang. Atap becak dibentang ditambah plastik transparan di depan dan samping menutupi bangku penumpang. Pengemudi bentor yang lalu lalang tetapi tetap kehujanan mengenakan jas hujan.

 

Pedagang kaki lima (PKL) yang kabarnya menjadi daya tarik tak lagi di sepanjang pedestrian, mereka di Teras Malioboro 1 & 2. Ku lihat tempat mereka malam itu ramai. Semoga saja mereka bisa tetap mendapatkan pemasukan dari berdagang di situ.

 


Ingatanku malam itu dan foto-foto itu mengingatkanku selama aku di kuliah di Yogyakarta sebagai mahasiswa yang kampusnya di Kota Semarang.

 

Yogyakarta. Ketika suntuk di rumah atau perkuliahan, aku mungkin akan berkeliling tanpa arah sore hari. Ke selatan, barat, timur, utara. Jalan Malioboro, Jalan Sudirman, Keraton, UGM, UNY, Lembah UGM, Alun-Alun Utara, Alun-Alun Selatan. Menuh-menuhi jalan saja aku ini. Tapi aku ingin saja berkeliling.

 


Apa lagi Jumat, Sabtu, atau Minggu, selain aku melepas penat keisenganku melihat plat kendaraan dari mana saja. Aneh memang. Jenuh dengan perkotaan Sesekali aku benar-benar ke tepi selatan Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), kawasan Pantai Parangtritis. Sekadar melihat laut, merasakan pasir pantai, mengamati aktivitas orang-orang di sana. Atau entah ke mana melihat pemandangan sawah atau alam.

 

Yogyakarta, kini aku ada di utara. Bukan Kabupaten Sleman, tetapi kota Semarang. Aku sepertinya diingatkan di mana aku kuliah sebenarnya. Walau pun sebenarnya aku tak lupa di mana kampusku. Ku akui kuliahku sebab kondisi yang tak menentu aku memilih kuliah dari Kota Yogyakarta. Di Kota Semarang pun sebenarnya aku juga kuliah daring. Tetapi ada kewajiban di sini yang harus di tuntaskan segera.

 

Bukan sekadar ada keluarga di sana. Tetapi tujuanku dulu memang berkuliah di sana. Betul, impian itu terwujud walau tak sesuai harapan. Jika memang aku benar-benar menamatkan S1 ku di Semarang, berarti S1 ku di Yogyakarta 4 semester. Cukup lama ternyata dibanding aku kuliah di Semarang. Di Semarang hanya Semester 1 saja yang di Semarang. Selepas ini setelah urusanku selesai yang perlu di urus segera secara luring, aku belum tahu apakah akan di Semarang atau kembali ke Yogyakarta.

 

Tetapi 4 semester ketika aku kuliah di semester 3, semester keduaku perkuliahan daring, aku menyadari kenapa impianku begini. Mungkin sebabnya harapanku hanya kuliah di Yogyakarta, tidak spesifik di kampus apa.

 

Semester 3 sepertinya bagiku yang paling suntuk. Kesepian. Iri melihat siapa pun yang sudah bisa pergi kemana-mana lagi. Beban perkuliahan yang lama-lama jadi terbiasa juga. Kadang pula air mata ikut turun. Ingin mencari suasa baru. Ingin ada teman yang beneran bisa diajak ngobrol. Perasaan itu terkadang muncul. Mereda. Lalu muncul lagi. Tetapi sudahlah, lama-lama ku nikmati saja. Paling kalo suntuk nugas di rumah ke Perpustakaan Daerah Istimewa Yogyakarta. Setidaknya di perpustakaan bisa melihat dan melakukan aktivitas di perpustakaan kampus, diskusi, menyari buku, baca buku.

 

Sepertinya aku di Yogyakarta lebih banyak baca buku, sampai aku menduga temaku itu buku. Sampai-sampai aku menyadari perlu teman sungguhan. Buku? Ya, ku tetap ku baca selama ingin. Tetapi memang susah mencari teman yang beneran nyambung denganku. Sebuah tanya memang bagiku sampai saat ini. Teman seperti apa yang ku cari? Ya, sempat beberapa kali aku ikut kegiatan luring pada situasi yang tak pasti ini. Sepertinya aku ketika ada di sana masih suka mendengarkan. Belum bercerita.

 


Di Yogyakarta pula aku menggarap bukuku. Banyak pula puisi-puisiku tertulis “Yogyakarta” sebagai tempat di mana aku menulis puisiku.

 

Yogyakarta. Jogja dan kenangan. Sesuatu di Jogja. Kutemukan Cinta di Yogyakarta. Jogja Istimewa. Itu baru beberapa lagu bernuansa Yogyakarta. Berbagai kisah para penulis lagu dituangkan di lagunya. Mungkin kita yang pernah singgah di Yogyakarta punya cerita, punya kenangan. Bedanya cara menunjukkan kisah-kisah itu.

 

Yogyakarta, entah cepat atau tidak aku mungkin akan singgah di sana lagi. Mungkin kini aku di sini diajak melihat suasana Kota Semarang yang berbeda dengan Kota Semarang. Tahu sendirikan? Aku kadang jenuh. Sabar. Selepas ini mungkin aku akan benar-benar kuliah di salah satu perguruan tinggi di sana.

 

Semarang, 19 Februari 2022

Komentar

Posting Komentar