
Kehidupan ialah
perjalanan. Sejak lahir hingga saat ini ialah perjalanan hidup kita. Banyak hal
yang kita lalui. Susah, senang, bahagia, takut, dan perasaan lainnya. Dari situlah
akan ada pengalaman bagi diri kita. Dari situ pula banyak hal hikmah yang dapat
diambil.
Aku, merasakan hal itu. Sehingga
menyebut diriku seorang pejalan. Pejalan yang berjalan di jalan yang telah ada.
Entah aku tinggal melaluinya atau memilih jalan yang akan dilalui. Di sinilah
takdir mubram, takdir Allah yang mutlak dan takdir muallaq, takdir Allah yang
mengikut sertakan manusia dalam menentukan nasibnya.
Semakin ke sini, banyak
hal yang telah dilalui. Takdir mubram sepertinya tak perlu dibahas. Sebab itu
telah ketentuan dari-Nya. Tak bisa ditolak. Tak bisa diubah. Seorang pejalan
tinggal mengikuti jalan. Sementara, takdir muallaq, pejalan bisa menentukan mau
apa, kemana, melakukan apa, berjalan sendiri atau dengan siapa.
Sebagai pejalan, tentu
menyadari banyak jalur dan persimpangan yang dipilih. Ketika memilih perlu
yakin mengapa memilih suatu hal. Ketika sudah memilih perlu memperjuangkan
untuk mendapatkannya. Ketika telah berusaha maka perlu berikhtiar. Ketika mendapatkannya
maka bersyukur. Ketika tak mendapatkannya maka berintropeksi diri dan mungkin
merenungkan apa yang telah didapatkan untuk disyukuri.
Aku hanya mengikuti
keinginanku. Ku jalankan saja. Tetapi aku tak ingin ikut-ikutan orang lain. Pejalan harus tenang memikirkan perjalanannya. Apakah
benar-benar siap atau sekadar ikut-ikutan? Jika benar-benar siap, tak apa
melanjutkan perjalanannya. Mungkin saja ketika di perjalanan pejalan
akan menyeret beban berat dan memikirkan orang di sekitarnya agar mencapai
tujuan.
Dalam perjalanan
ada kalanya aku tak berjalan sendirian. Aku akan menemukan orang-orang yang
memiliki tujuan yang sama. Dengan beberapa orang yang ku anggap nyaman dan ku
percayai, aku akan berkata, “Lebih baik kau berjalan di sebelahku. Tidak di belakangku,
sebab bisa saja kau tertinggal. Tidak di depanku, sebab ku bisa saja tak dapat
menyamai langkahmu. Jikalau di samping, mari kita ukir sejarah bersama
sepanjang jalan.” Hal itu ku katakan sebab lebih baik kita berdiskusi dalam
menentukan arah. Sehingga tak ada beban yang begitu berat di antara kita dan
terbebani.
Tetapi ada
kalanya pula kita tak bisa memaksakan berjalan bersamaan dengan beberapa orang.
Sebabnya mungkin tak begitu sejalan dan ia sulit untuk diajak berdiskusi. Bisa
jadi bukan diskusi untuk menyelesaikan, tetapi mengalah untuk menunjukkan arah
atau mengikuti jalannya dengan risiko yang ada. Pejalan haruslah menerima tetapi
tak boleh pasrah begitu saja. Perlu tetap berusaha dan tetap mengingatkan teman
perjalanan ketika mulai tak sesuai tujuan.
Seorang
pejalan yang berjalan bersama pejalan lainnya terkadang mengalami perdebatan
dengan ego dan argumennya. Namun, ketika diskusi dan memimpin dan mengikuti
bukan hal yang baik, lagi-lagi pejalan harus memilih jalan yang dilalui.
Mungkin saja akan berpisah dengan pengertian dan "sampai jumpa."
Jadi, bagiku sebagai
pejalan, berjalan bukanlah sekadar berjalan kaki, tetapi menjalani hidup. Di perjalananlah
pejalan akan menemukan pesan untuk disadari.
Penulis: Muhammad Irfan Habibi
Komentar
Posting Komentar