![]() |
Kegiatan Posyandu Lansia Desa Cepogo, Kecamatan Kembang, Kabupaten Jepara, Kamis (28/8). Kegiatan ini merupakan salah satu tugas Bidan Desa. |
“Menjadi satu-satunya banyak tugas atau saingan
banyak tapi tugas tidak begitu banyak?” tanya Aldiva, temanku asal Bali, ketika
berkumpul. Pertanyaan itu muncul selepas mengikuti kegiatan kesehatan di Desa
Cepogo, Kecamatan Kembang, Kabupaten Jepara. Aku lupa, antara posyandu atau
vaksinasi covid-19. Pertanyaan itu muncul melihat dan mendengar banyaknya tugas
seorang bidan desa. Pertanyaan lain seperti “apa iya tidak ditambah?” pun
muncul.
Namun, menurutku lebih baik menjadi satu-satunya
dan diperlukan walaupun banyak tugas. Sebab menurutku terutama diwilayah desa
dan 3T (tertinggal, terdepan, dan terluar) juga membutuhkan pelayanan kesehatan
dan tenaga kesehatan. Bagiku pula orang-orang yang memilih ditugaskan di daerah
pedesaan atau 3T dengan kondisi alam, budaya, dan sebagainya menjadi menarik
pula. Mungkin tidak sembarang orang yang siap ditugaskan di daerah-daerah
seperti ini.
Jika aku lihat Bidan Desa, Bu Lady, kami
menyapanya, ialah sosok yang benar-benar tulus. Apa pun tentang kesehatan bisa
dikatakan tentu korndinasi dengannya. Pada 3 hari terakhir sebelum aku bersama
mba-mba KKN kembali ke Kota Semarang, Selasa (9/8), sesuai rencana melakukan
sosialisasi pencegahan HIV-AIDS di salah satu PKK RT, ia menyempatkan hadir.
Sebelumnya pun sempat mengantarkan brosur sebagai materi sosialisasi.
Walau tampaknya ia kurang istirahat, ketulusannya
tetap ada.
Kembali kepertanyaan awal tadi, aku sebenarnya
pernah menemukan kisah-kisah yang hampir mirip. Mulai dari sosok Guru Aini,
tokoh lulusan D3 pendidikan yang rela ditugaskan di daerah terpencil, kisah ini
ada di Novel “Guru Aini” karya Andrea Hirata; sosok guru SMP ku, Bu Kesy yang
pernah mengajar di sebuah pulau yang dari Pulau Galang masih nyebrang lagi di
Kota Batam; Fawaz, seorang relawan guru yang mengajar di beberapa pedalaman di Indonesia
yang ia ceritakan melalui buku “Seandainya Aku Bisa Menanam Angin.”
Keempat tokoh itu hanya ada satu yang ku
lihat, ketulusan. Mereka pun tampak memiliki kedekatan dengan masyarakat tempat
mereka mengabdi.
Soal kesehatan dan pendidikan tentu saja itu
hak bagi siapa pun yang perlu dipenuhi oleh negara. Tapi seorang tenaga
pendidik atau tenaga kesehatan belum tentu mau ditempatkan di daerah-daerah
tertentu.
Dulu aku juga pernah berangan mengabdi di
daerah-daerah yang tertinggal sebagai guru. Mungkin saja itu “menyelamatkan”
orang-orang di sana, mendekatkan akses yang harus didapatkan. Adanya satu-satunya,
artinya setidaknya ada, lebih baik daripada tiada sama sekali.
Pengabdi seperti Bu Lady mungkin bagi orang lain
luar biasa tetapi mungkin bagi dirinya biasa saja. Mungkin saja ia menganggap
itulah tugasnya, membantu masyarakat.
Komentar
Posting Komentar