Apakah kau masih menyeselai menyebut ia rembulan?
~Hm... Ya, begitulah.
Dan bukannya kau setelah "patah hati" sadar kalau rembulan itu mengajarkan ketidakabadian dan kepergian?
~Iya, aku jadi sadar sebab bulan punya siklusnya. Tapi setelah selesai fase terakhirnya kan mulai kembali. Seperti setelah jatuh lalu bangkit.
Iya, benar. Tapi julukannya bulan baru. Jadi, mungkin saja ini fase terakhirmu atau fase bulan barumu dengan yang lain
~Tapi ia hanya satu-satunya di langit. Tak setuju aku denganmu. Sebab bulannya bumi cuma satu. Tak akan tergantikan
Baiklah, jadi dia kau sebut bunga kan sekarang?
~Iya, sekarang ia bunga. Bukan rembulan.
Kau yakin? Sebab kau sendiri sadar kan bunga itu tak tergantikan? Apa lagi hanya ada kenangan dan tak lagi saling menyapa
~ Iya, aku yakin ia tak akan tergantikan. Tapi aku belum siap jika kami tak saling sapa.
Lalu dengan kenangan?
~ Ya, bagaimana lagi? Kenangan itu yang tak bisa lepas dari ingatan. Kenangan juga termasuk kesalahan yang memberikan pelajaran.
Oh ya, jadi gimana? Apakah kau masih mau menitip pesan pada bulan di langit? Ya, aku tak tahu untuk siapa
~Ku pikir sesekali ketika keluar rumah menatap langit dan menemukannya aku hanya memandanginya. Bukan berarti aku kecewa pada bulan dan dia. Ya, jika ada pesan yang tak bisa ku ungkapkan aku memilih menitipkan pada hujan yang membawanya jauh, entah dengan mengalir atau menguap lalu hujan di tempatnya.
Jadi, sesalmu dengannya dan rindumu padanya akan kau serahkan pada hujan? Jika tak musim hujan bagaimana?
~ Iya, aku serahkan padanya. Jika tak musim hujan? Pantai atau sungai dengan air jernih mungkin bisa membantu. Walau dipikir akan lebih lama sampai. Tapi mungkin itu lebih baik dari pada aku pendam dan menjadi beban.
Apa kau tak berani memulai percakapan atau menyampaikannya langsung? Tanpa perantara hujan atau bulan
~ Ternyata kau yang tak tahu. Aku pernah menyampaikan kegundahanku padanya. Cukup panjang sepertinya. Dan ia balas dengan suaranya. Bukan teks.
Lalu?
~ Ya, aku terdiam, mendengarkannya berkali-kali, memikirkan apa pesan yang ia sampaikan. Aku pun berkali-kali mau balas apa. Yah, semoga saja hubungan kami baik. Tak ada masalah lagi.
Oh, ya. Bunga baru sudah kau temukan kah? Ketika ia kau sebut bunga mungkin akan tergantikan dengan yang lebih indah bukan?
~ Iya, tentu saja ada kemungkinan aku menemukan bunga yang lebih indah. Dan aku mendapatkan satu bunga abadi yang setia hingga akhir hayatku. Untuk sekarang bunga pengganti belum ada.
Kau beneran tak berharap lagi dengannya?
~ Tidak juga. Mungkin saja ia termasuk bunga pengganti itu. Sebab masa lalu dengan masa sekarang atau nanti tentu ada yang berubah. Mungkin aku dan ia bisa saling menerima lagi.
Ha?
~ Iya, seperti rembulan bukan? Anggap saja pilihan kami ini peringatan. Mungkin saja kami atau aku khususnya sudah menjadi orang lain kemarin. Jadi, mungkin kini untuk menjadi diri sendiri lagi, memperbaiki diri, dan memantapkan diri juga.
Apa kau tak berusaha mencari bunga saja sekarang? Ku lihat kau ragu-ragu mau mencari bunga baru itu
~ Sepertinya masalah itu perlahan saja. Aku tak mau terburu-buru. Ia juga mengingatkanku sampai aku bertanya-tanya padaku. Pertanyaan itu: apakah mungkin aku kini hanya butuh teman? Belum lebih dari itu.
Yahsudahlah, silakan saja berekspresi asal kau tak berlebihan, tak tergila-gila, dan masih ingat siapa dirimu yang sesungguhnya. Kalau menjadi lebih baik tak apa. Tapi ingat tujuanmu untuk apa?
~ Ku usahakan itu.
Ah, orang jatuh cinta dan orang patah hati dengan segala kenangannya memang kalimat-kalimatnya membuai. Seperti kau itu.
~ Ahahaha. Aku juga tak tahu mengapa aku bisa berkata-kata seperti itu.
Yk, 20 Agustus 2021
Komentar
Posting Komentar