Segera lulus bagi seorang mahasiswa ialah hal
yang wajar. Mungkin ini sebuah prestasi terlebih bisa mendapatkan IPK yang
sempurna dengan waktu pendidikan 3,5 tahun atau 4 tahun. Tentu ini sebuah kebanggaan.
Ini tentu saja akan berdampak kepada citra
jurusan, fakultas, dan universitas yang akan menjadi baik. Boleh jadi menaikkan
nilai akreditasi atau menjadi daya tarik para calon mahasiswa.
Namun, mungkin ada banyak pertanyaan yang
timbul, seperti "Untuk apa cepat lulus tapi ga punya skill?",
"Lulus cepat emangnya udah tau mau ngapain habis ini?", dan
pertanyaan lainnya.
Tetapi dibalik itu mungkin ada mahasiswa yang
memaksakan dirinya. Memaksa segera lulus karena memang memiliki target untuk
melanjutkan rencananya atau memaksa segera lulus agar tidak membayar Uang
Kuliah Tunggal (UKT).
Mungkin agar tidak bayar UKT ini benar adanya.
Terlebih biaya pendidikan di perguruan tinggi terbilang tidak murah. Belum lagi
sumber dana pembiayaan pendidikan tinggi ini dari mana.
Berdasarkan data yang diolah Kompas, biaya
pendidikan makin tahun akan semakin meningkat secara signifikan. Namun,
pendapatan orang tua tidak mengalami hal serupa.
Kompas pun mesimulasikan bila orang tua yang
menyiapkan dana pendidikan di perguruan tinggi untuk anaknya sejak lahir hanya
akan cukup hingga empat semester.
Ini menjadi tentu menjadi tantangan dan
pilihan bagi seorang mahasiswa. Memilih bekerja sampingan untuk menambah
pendapatan, mencari beasiswa, atau memaksakan diri tanpa ampun menyelesaikan
tugas akhir.
Hal semacam itu tentu ada yang dikorbankan
mahasiswa terlebih secara fisik dan psikis. Bisa jadi pula tugas akhir
dikesampingkan demi biaya. Padahal tugas akhir lah yang utama.
Kisah-kisah mahasiswa yang memforsir tenaganya
untuk tugas akhir dengan lupa waktu untuk makan, istirahat, dan tidur
sepertinya sudah banyak. Mungkin saja teman di sekitar kita atau bahkan diri
kita sendiri lah yang seperti ini.
Awal tahun 2023 ini mungkin kita telah
mendengar kisah Nur Riska, Mahasiswa Universitas Negeri Yogyakarta (UNY), yang
terpontang-panting untuk banding UKT dan bisa membayarkannya. Kisah ini ramai
menjadi perbincangan di media sosial. Ia memperjuangkan hal tersebut tentu
dibantu oleh teman dan ketua jurusannya. Namun, sayang pengorbanannya tak
kunjung membuahkan hasil hingga akhirnya ia wafat akibat kondisi kritis karena
pembuluh darahnya pecah.
Kisah tersebut mungkin dapat menjadi renungan
kita bersama baik sebagai mahasiswa, pejabat kampus maupun pejabat terkait
pendidikan tinggi. Sebab bila memang seorang mahasiswa memutuskan untuk lebih
dari delapan semester perlu dipertimbangkan apakah perlu adanya keringanan
biaya yang dibayarkan terutama bila ia hanya tinggal menyelesaikan tugas akhir.
Kebijakan ini pun telah dilakukan di beberapa perguruan tinggi. Bila memang
kampus tidak menyediakan ini mau tidak mau mahasiswa hanya punya opsi segera
lulus atau menjadi “donatur kampus.”
Memang benar tak ada ilmu yang murah. Namun,
bila biaya pendidikan terjangkau oleh masyarakat bisa jadi meningkatkan
kualitas intelektual masyarakat secara individu. Meringankan biaya pendidikan tinggi bukan
berarti melanggengkan “mahasiswa abadi” tetapi mengurangi beban yang dipikul
oleh mahasiswa maupun orangtua mahasiswa.
Ataukah memang menempuh pendidikan hanya untuk
mendapatkan gelar atau posisi tertentu semata? Sehingga pendidikan ialah bisnis
yang akan selalu dibutuhkan bukan lagi sebagai kebutuhan untuk mencerdaskan
kehidupan bangsa.
Penulis: Muhammad Irfan Habibi
Komentar
Posting Komentar