![]() |
Para Pers Mahassiwa yang akan meliput Aksi Penolakan Perpu Ciptaker di depan gerbang UIN Walisongo, (9/3).Dok. Pribadi |
Mahasiswa tentunya memiliki
keinginannya mengembangkan minatnya. Terlebih ketika mahasiswa, seseorang yang
telah memasuki dewasa awal cukup bebas memilih apa yang diinginkan. Hal ini
juga tak lepas dari aktivitas bermedia massa.
Aktivitas bermedia massa di
lingkungan kampus kini berbagai bentuk. Di lingkungan UIN Walisongo terdapat
komunitas media massa yang dikelola mahasiswa, seperti Walisongo TV (WTV) dan
MBS Fm. Selain itu, terdapat pula unit kegiatan mahasiswa (UKM) dalam bentuk
lembaga pers mahasiswa (LPM), seperti LPM MISSI, LPM Justisia, Surat Kabar
Mahasiswa (SKM) Amanat, dan sebagainya.
Bentuk tersebut mewadahi
mahasiswa untuk mempelajari, praktik, menganalisis, dan sebagainya terkait
hal-hal yang ada dalam media massa. Tentu komunitas dengan LPM memiliki ciri
yang membedakannya. Misal WTV lebih mewartakan secara video apa yang terjadi di
kampus dan terkadang juga terlibat kerjasama dengan birokrasi untuk melakukan
siaran langsung. Begitu pula MBS Fm yang memiliki fokus siaran audio.
Sementara, LPM lebih berfokus pada produk jurnalistik cetak dan daring.
Namun, saat ini sekat secara
ruang lingkup siapa berfokus kepada media seperti apa sudah bias. Konvergensi
media telah “memaksa” untuk hidup media massa yang sesungguhnya. Oleh
karenanya, kini media massa televisi pun memiliki situs berita daring. Media
massa cetak mulai beralih ke media daring dan juga menyampaikan berita melalui
bentuk visual. Radio pun demikian, kini memiliki media tulis daring dan video.
Ini pula yang terjadi dalam
kehidupan bermedia massa di kampus. LPM dan komunitas radio pun memiliki produk
jurnalistik video. Sehingga yang “diadu” ialah kecepatan dan kreativitas
penyampaian kabar.
Secara isi konten media-media
yang dikelola mahasiswa tersebut tergantung bagaimana arahnya. Apakah sebagai
hiburan? Apakah jembatan dari atas atau birokrasi ke masyarakat kampus? Apakah
independen? Atau sebagainya.
Inilah yang tampak pada media
massa di kampus. Sekilas menyerupai media-media massa umumnya. Media massa yang
dikelola mahasiswa pun memiliki segmennya tersendiri baik hiburan, mewartakan
kabar, dan sebagainya.
LPM telah memiliki histori dan
ciri khasnya yang kemungkinan akan tetap dipertahankan. Para kru LPM tampaknya
lebih dibentuk sebagai insan pers sebagaimana mestinya. Kru LPM dibekali
pengetahuan jurnalistik termasuk kode etik. Walau pun LPM berada dititik
kebingungan arah antara apakah main aman dengan mewartakan hal-hal baik di
kampus atau menjadi watchdog atau anjing pengawas. Tampaknya LPM kini
keduanya pun diliput dan terpublikasi.
Ini juga mungkin juga terjadi di
komunitas-komunitas media massa di kampus. Dilatih soal manajemen produksi dan
dibekali terkait penyiaran. Walau pun media massa komunitas mahasiswa ini lebih
“main aman” tidak menutup kemungkinan juga melakukan selayaknya pers sebagai watchdog.
Posisi Persma
Dalam media mengenal kru media
massa termasuk dalam komunitas maupun LPM. Bisa kita sepakati kru media massa
ialah seorang pers atau jurnalis. Seorang pers mahasiswa (persma) terutama LPM
acap kali mengalami intervensi, intimidasi, kekerasan, dan bahkan pembredelan.
Hal tersebut bukanlah tanpa awal.
LPM yang lebih memiliki sikap independen dan kritis dalam produknya terkadang
dinilai mengancam beberapa pihak termasuk kampus. Acap kali pemberitaan terkait
“keburukan” kampus berujung tidak baik. Bisa saja LPM itu dibekukan atau
seorang persma diancam soal akademik.
Tentu hal seperti itu sangat
bertentangan dengan apa yang diajarkan dalam ruang kelas ilmu komunikasi dan
jurnalistik. Dalam kelas mahasiswa diajarkan bagaimana media massa. Diajarkan
soal media massa memiliki nilai independen dan sebagai watchdog, Kode
Etik Jurnalistik (KEJ), hukum terkait media massa, dan sebagainya.
Dengan begitu, LPM ialah ruang
mempraktikkan teori dan mengembangkan pengetahuan soal jurnalistik.
Namun, yang menjadi persoalan jika para dosen mengajarkan demikian kepada
mahasiswanya di ruang kelas, lantas mengapa birokrasi kampus ketar-ketir ketika
ada berita buruk dan sesuai fakta terkait kampus?
Memang tidak semua orang paham
soal hukum etika media massa. Namun, apa yang diwartakan persma tentu memiliki
dasar. Jika memang LPM benar-benar menjalankan sesuai KEJ maka hak jawab pun
tersedia bagi birokrasi kampus terkait persoalan yang “menyinggung”. Kala ini
pula praktisi ilmu komunikasi dan jurnalistik menjelaskan kepada birokrasi
kampus terkait kebebasan pers dan hukum etika media massa.
Berdasarkan artikel berjudul
“Profesional, Abal-abal, dan Hoax” yang ditulis Yosep Adi Prasetyo yang dimuat
dalam Jurnal Dewan Pers Edisi 14, Juni 2017, memposisikan LPM dan media
komunitas berada di kuadran dua. Pada kuadran ini beriisi media komunitas,
media keagamaan, LPM, media kehumasan, media yang sedang tahap rintisan atau
media yang sedang proses verifikasi Dewan Pers.
Media-media tersebut memiliki
ciri tidak atau belum terverifikasi Dewan Pers tetapi isi berita memenuhi
standar jurnalistik dan KEJ. Artinya beritanya ialah positif dan terpecaya.

Gambar 1
gambaran ragam media dalam setiap kuadran. Sumber gambar: Jurnal Dewan Pers
Edisi 14
Dalam posisi ini Dewan Pers
berperan sebagai mediator antara pihak yang dirugikan dengan media massa. Pada
kuadran dua lebih menyoroti soal kebebasan pers. Namun, bila pihak yang
dirugikan tidak puas dengan hasil mediasi bisa menempuh prosedur lain di luar
Undang-undang No. 40 Tahun 1999 tentang Pers.

Gambar 2
Cara penanganan terhadap pemberitaan yang bermasalah. Sumber gambar: Jurnal
Dewan Pers Edisi 14
Tentu hal ini berbeda dengan
media massa yang berada di kuadran satu, yaitu media massa yang memenuhi syarat
Undang-undang No. 40 Tahun 1999 tentang Pers dan terverifikasi Dewan Pers serta
isi pemberitaannya memenuhi standar jurnalistik dan KEJ. Bila media di kuadran
ini bermasalah akan diproses sepenuhnya sesuai undang-undang.
Akhir kata, bila memang kampus
ialah ruang belajar, maka hal-hal jurnalistik yang dilakukan media massa kampus
baik bentuk komunitas dan LPM perlulah dirawat nalarnya. Jalankanlah kebebasan
pers dalam kampus selayaknya di luar kampus. Terlebih kampus dikenal sebagai
miniatur negara. Sebab media massa yang dikelola mahasiswa dalam kampus
bukanlah sekadar ruang mengasah skill dalam memproduksi karya.
Semarang, 27 Maret 2023
Oleh: Muhammad Irfan Habibi
Komentar
Posting Komentar