Dialog Senja Aku dengan Diriku Kala Senja

 Kala senja di tepi pantai, aku memandang laut lepas tanpa tepi. Memandang jauh cakrawala yang memisahkan lautan dan langit.

Langit sore itu tampak cerah nyaris tak ada awan. Riak-riak di lautan membuat pantulan sinar jingga matahari menari lemah lembut harmonis dengan suara deburan ombak.

 Tatapan mataku ke laut lepas menghubungkanku dengan diriku sendiri. Aku merasakan jika aku tidak sendirian tetapi aku bersama diriku sendiri.

 Dialog-dialog senja antara diriku sendiri dengan diri sendiri tak dapat dihindarkan. Cerita panjang yang ada di pikiranku dan batinku perlahan terucap. Diriku melempar pertanyaan yang harus kujawab.

Aku ke tepi pantai sore ini hanya ingin berbicara dengan diri sendiri. Bercerita tentang berbagai hal. Melarungkan segala penyesalan. Aku pasrah ditatap samudra dan langit yang makin mendekati malam makin elok.

Sebab dan akibat dari masalahku ditemukan dalam dialog senja ku.

Langit perlahan tak lagi berwarna jingga. Lautan lepas dan langit kini tak ada perbedaan, mulai menghitam gelap. Deburan ombak menyapu sisa-sisa lara yang ku larungkan.

 Bisikan pun terdengar di kupingku, “Sudahlah. Aku tahu masih banyak laramu yang belum engkau larungkan. Tetapi kini sudah awal dari malam. Aku tahu sebencinya dirimu kepada diri sendiri dalam hati kecilmu masih sayang kepada diri sendiri. Kini waktunya meninggalkan pantai ini. Engkau harus terus berjalan. Ikhlaskanlah apa saja dan siapa saja yang meninggalkan dan engkau tinggalkan. Soal sisa lara yang masih tersimpan dirimu itulah pengingat siapa dirimu.”

Keriuhan deburan ombak bagaikan lambaian tangan yang menyambut kepergianku dari pantai itu. Deburan ombak pun seakan berteriak kepadaku, “Jangan kembali lagi ke sini jika laramu belum hampir memuncak! Aku akan selalu ada.”

 Semarang, 21 Mei 2023

Komentar