Dari Laut, Hidup (1): Berdampingan dengan Laut dari Rob hingga Hasil

Seorang nelayan Bandengan, Kabupaten Kendal.

Masyarakat kampung nelayan tentu amatlah dekat dengan lautnya. Boleh dikatakan laut ialah bagian dari keluarga. Kebanyakan masyarakat Kampung Nelayan Bandengan, Kabupaten Kendal ini sudah turun temurun beranak-cucu di tepi muara Sungai Kendal.

 

Saat hari berangkat menuju sana, aku sendiri mengecek cuaca sebelum berangkat, untungnya cerah dan ini sesuai dengan realitanya. Awan tak menutupi wilayah Kabupaten Kendal dan Kota Semarang pagi itu berdasarkan radar cuaca.

 

Penulusuranku berlanjut perihal gelombang di sepanjang pantai utara Jawa Tengah terutama yang langsung berhadapan dengan Kabupaten Kendal. Biru di peta maritim Badan Meteorologi Klimatologi Geofisika (BMKG), tandanya tenang. Mengecek ini tampaknya memberi gambaran sedikit perihal gelombang.

 

Prakiraan itu pun kekhawatiran perihal banjir rob tampaknya bisa ku tanggalkan pagi itu. Toh masa bulan purnama juga telah berlalu. Namun, siklus di sana tentu saja belum ku ketahui.

 

Tibanya di sana, aktivitas selayaknya kampung nelayan, penjemuran ikan, pengelolahan ikan, atau suara mesin-mesin disel meraung sudah biasa. Angin sepoi khas pesisir juga menyambut kedatangan di Kampung Nelayan Bandengan.

 

Hari itu, Selasa (25/6/2024), agendanya ialah memotret gambaran sekilas kampung nelayan ini. Kisah pernelayanan dibuka dari rumah Pak A, seorang nelayan cumi. Kebetulan saja hari itu tak melaut akibat tubuhnya kurang sehat padahal bisa setiap hari ia melaut.

 

“Kalau melaut itu rasanya tenang berapa pun hasilnya ketimbang di rumah terus,” ucapnya.

 

Obrolan kehidupannya sebagai nelayan di rumahnya pun berlarut hingga sekitar tiga jam, tepatnya saat azan Zuhur berkumandang. Ia menuturkan bila masyarakat kampung ini sudah turun-temurun sebagai nelayan. Kemampuan melaut seakan sesuatu yang pasti diwariskan turun-temurun.

 

Ia bercerita bila orang di sini dulu lebih baik melaut sejak usia sekolah menengah pertama (SMP).

 

“Kalau melaut bisa mendapat uang, kalau sekolah malah mengeluarkan uang,” kira-kira begitu ia menuturkannya.

 

Pak A sendiri mengakui bila dirinya buta huruf akantetapi pengalaman di lautnya sejak masa muda bukan main. Lautan terjauh yang pernah ia hampiri ialah seputaran perairan utara Provinsi Lampung.

 

Ia pun mengatakan bila apa yang ia lakukan saat mencari hasil laut ialah belajar dengan meniru dari tempat-tempat yang berhasil melakukan metodenya, seperti caranya dengan menggunakan aratan.

 

Meratakan Dasar Laut

Metode aratan ini sempat memicu ketegangan dengan nelayan yang menggunakan kapal waring. Kapal Waring ialah kapal yang lebih besar dengan jumlah awak kapal sekitar 10 orang sekali melaut.

 

Pak A menceritakan bila metode ini diprotes hingga diadakan pertemuan antara nelayan berkapal aratan. Pasalnya cara ini menggunakan papan yang “menyapu” dasar laut sehingga membuat rata dan “menyerok” benih biota laut yang bertumbuh untuk kedepannya.

 

Kapal aratan.

Namun, ia menampik bila caranya ialah yang paling merusak. Pasalnya ada kapal sodo yang menggunakan jaring dengan dua bilah bambu yang didorong kapal dan menjaring segalanya di perairan. Dampaknya ini kabarnya lebih dahsyat ketimbang aratan.

 

Memang sempat ada sosialisasi bagaimana alat-alat yang baik digunakan untuk mendapatkan hasil laut dan bagaimana menjaga hasil laut tetap ada. Setidaknya rumah biota laut tidak rusak. Termasuk pula melepaskan kembali indukan-indukan ikan yang besar.

 

“Lah, kalau dapat banyak dan besar kenapa harus di lepaskan?” begitu ia tuturkan soal tanggapan nelayan harus melepaskan indukan ikan.

 

Kapal aratan dan sodo bila dilihat sama-sama menggunakan jaring dan terdapat papan yang menyapu di dalam air. Berdasarkan penjelasan itu (perlu dikonfirmasi ke ahli) bila metode ini disebut penggaruk atau dredges. Sebab memiliki papan kayu dan dilengkapi jaring dengan dioperasikan dengan cara menggaruk dasar peraian. Sasaran metode ini ialah hasil laut yang menetap di dasar, seperti kerang, cumi, dan sebagainya. Ini berdasar pada tulisan berjudul “Penggunaan Alat Tangkap Bagi Nelayan yang Benar” oleh Ramlan.

 

Berdasarkan data yang ditemukan, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) dalam sebuah dokumen "Penempatan Alat Penangkapan Ikan dan Alat Bantu Penangkapan Ikan", metode ini diperbolehkan pada 2-12 mil laut. Namun, penuturan Pak A kurang dari 1 mil. Ia pun menjelaskan mengambil ikan pada lautan yang perairannya tampak keruh.

 

Seusai berbincang dan salat Zuhur, tawaran Pak A untuk melihat aktivitas nelayan di laut ya tak kami tolak. Melihat kondisi laut dan di mana kapal-kapal mengambil hasil laut pun bisa digambarkan.

 

Cuaca sedang bersahabat, kicak, sebutan orang setempat, atau gelombang tenang yang bagai beling cermin memantulkan cahaya matahari. Tampaknya seakan berkaca-kaca. Realita sesungguhnya pun ku tangkap. Memang lautan berwarna coklat amat luas dari daratan. Pertanyaannya apakah benar 1 mil? Tampaknya lebih dan boleh jadi benar sesuai aturan jarak di mana nelayan dengan tangkapan ini mengambil hasil laut.

 

Gambaran titik berangkat, muara sungai, hingga titik terjauh hari itu diajak melihat aktivitas nelayan Bandengan.

Gambar itu memetakan dari mana kami berangkat di Sungai Kendal, muara, hingga perkiraanku titik terjauh dari bibir muara. Sebagai acuan 1 mil ialah 1,6 km. Titik pada gambar yang menunjukkan 3,28 km ialah perkiraanku terjauh di lautan hari itu, sementara 2,50 ialah titik yang ku tandai sebagai ujung muara. Ya, ini tandanya mendekati 1 mil.

 

“Pak, disekitar sini kalau menangkap?” tanyaku. “Masih ketengah lagi,” ucapnya.

 

Sehari Ga Rob Itu Kurang

Saat kami hendak melihat keseharian nelayan di muara Sungai Kendal dan laut, keraguan tiba. Pasalnya air rob masuk ke kampung mengalir dari muara sungai ke jalan. Jalan utama tergenang kira-kira setinggi mata kaki.

 

Namun, anak Pak A, E, mengatakan, “sehari ga rob itu kurang. Malah aneh.”

 

Air rob yang menggenangi jalan utama Kampung Nelayan Bandengan, Kabupaten Kendal, Selasa (26/6/2024)

Hal ini pun menyebabkan kami melepas sepatu dan berganti sandal saat menuju kapal Pak A yang bersandar di Sungai Kendal. Saat perjalanan pun tampak rumah yang halamannya tergenang air rob.

 

“Pak, ini berarti rumah sama jalannya sudah ditinggikan ya?” tanyaku saat melihat kondisi jalan yang tampak ditimbun dan rumah yang seakan langit-langit dan lantainya amat mudah digapai orang dewasa. Belum lagi tampak rumah yang memang seakan pintunya di potong. Pertanyaan itu pun diaminkan.

 

Genangan air rob dari muara Sungai Kendal yang masuk ke dalam Kampung Nelayan Bandengan, Selasa (25/6/2024).

Berdasarkan artikel jurnal berjudul “Analisis Dampak Banjir Rob Terhadap Kerusakan Bangunan di Kelurahan Bandengan Kecamatan Kabupaten Kendal” yang ditulis oleh Sunarna, Henny Pratiwi Adi, dan Moh. Faiqun Ni’am yang diterbitkan 2023, menggambarkan kondisi kerusakkan akibat rob di tempat ini dengan responden 150 penduduk setempat.

 

Hasil penelitian tersebut mencatat kerusakan struktur kategori sedang 2,22%, kerusakan komponen arsitektur kategori sedang sebesar 47,18%, dan kerusakan komponen 51,37% dengan kondisi berat. Sementara, kehilangan fungsi komponen bangunan rumah tinggal dengan kondisi ringan sebesar 16,37%, untuk aspek struktur, sedangkan untuk aspek arsitektur ringan sebesar 2,36%, serta dari aspek utilitas nilai kehilangan fungsinya ringan sebesar 17,98%.

 

Walau kondisinya demikian tampaknya penduduk Kampung Nelayan Bandengan telah bersahabat. Terasa aneh bila rob tak menghampiri kampung ini sehari saja. Upaya yang tampak ya bagaimana air rob tak masuk ke bagian dalam rumah, entah menanggul sungai, menanggul depan pintu, atau meninggikan rumah.

 

Rob sepanjang Pantai Utara Jawa tampaknya sebab utamanya sama, akibat pasang surut air laut dan perubahan iklim. Pilihannya ialah apakah kita bisa menyesuaikan?

Komentar